Langsung ke konten utama

Ahasveros


Cerpen Dody Kristianto

ADIK, kau tahu jika langkah kakiku ini kian berat. Terasa ada bandul yang mengikat dan memberatinya. Pandanganku juga semakin buram, menatap kota-kota yang kulalui. Kota-kota itu adik, terus membuatku merasa serupa orang yang mengejar halusinasi. Ya, halusinasi. Aku benar merasa sendiri di tengah kota ramai itu. Adik, jika kau mendengarnya, aku meminta kau segera menanggalkan sayapmu itu.

Sepasang sayapmu itu adik, membuatku merana sekian tahun ini. Aku bagai menahan suatu kutukan yang harus kutanggung selama hidupku, sisa hidupku. Dan dalam sisa hidupku ini adik, aku harus mencarimu yang telah pergi entah ke mana. Dengan sepasang sayapmu itu. Aku sungguh benci pada sepasang sayap yang telah tumbuh di punggungmu. Adik, percayalah, jika aku dan anak kita selalu menunggu kau kembali. Bagaimana si kecil terus merengek, menanyakan di mana kau pergi.

Aku tak tahu, aku bingung, harus aku jawab seperti apa pertanyaan anak itu. Dia sudah mulai pintar. Bila dulu aku bisa mengatakan jika kau sedang berada di sebuah kota nun jauh. Kau mencari mainan dan segala baju-baju indah untuknya. Aku selalu mengatakan hal itu padanya. Dan sungguh, aku hanya bisa menunjukkan setumpukan kartu pos bergambar yang pernah kau berikan untukku agar perhatiannya teralihkan. Aku mengatakan padanya, kau berada di salah satu tempat pada kartu pos bergambar itu kini. Sejenak ia terdiam, melupakan tangisnya, lalu ia teringat dan terus mencecarku dengan pelbagai pertanyaan, mengapa kau mesti berada di situ.

Aku harus memutar otakku untuk menjawab pertanyaannya. Kadang ia juga menemukan dan memandangi sebuah kartu pos bergambar yang selalu kusembunyikan dari tatapannya, kartu pos bergambar kota yang rusuh. Di mana-mana kekacauan terjadi. Ada asap yang menyelimuti kota. Kota dengan penduduk yang bermata menyala, seperti api. Apakah mungkin kau berada di situ, tanyanya padaku.

Aku sungguh terkaget-kaget. Dari mana ia menemukan kartu pos bergambar itu. Aku terdiam, lidahku kelu. Ia terus mendesakku. Aku pun menjawab mungkin kau berada di atas kota itu, sedang terbang di antara kepungan asap yang mengerumuni kota. Bagiku kau tak mungkin berada di tempat semacam itu.

Atau mungkinkah justru kau kini tengah terkepung pada kota yang tengah menyimpan dendam di setiap jendela rumahnya? Aku sungguh berharap hal itu tidak terjadi. Aku takut adik, aku takut bila hal itu terjadi. Kau dan sayap mungilmu pasti direnggut oleh asap hitam jahat yang membuat semua orang menjadi nanar.

Ah, jika ia bertanya kembali, lekas-lekas aku sembunyikan kartu pos bergambar yang satu itu dan kualihkan pandangannya pada kartu pos bergambar lain. Kartu pos dengan gambar yang lebih indah. Perihal semua kartu pos bergambar itu, aku pernah teringat pada saat kita berdua memandangi gambar-gambar yang kau berikan itu. Terkadang kau bercerita padaku tentang harapanmu untuk tinggal pada salah satu gambar itu.

Setumpukan kartu pos bergambar itu mungkin saja bergambar tempat dari mana kau berasal, seperti pernah kau bercerita padaku. Adik, mungkinkah, kau sedang berada pada salah satu tempat dalam setumpukan kartu pos bergambar itu? Ya, kartu pos bergambar yang masih kusimpan. Kau mengatakan jika kartu pos bergambar itu adalah pemberian ayahmu. Ternyata kau selalu meyakini jika ayahmu kini tengah tinggal pada salah satu tempat dalam setumpukan kartu pos bergambar itu.

Kau paling berharap dan bermimpi jika ayahmu tinggal pada salah satu tepian pantai, tempat senja kerap muncul. Senja yang benar-benar kau idamkan selama ini. Kau bercerita jika kau memang terlahir ketika senja menjelang dan yang selalu kau ingat, kau ingin menyatu dengan senja itu. Dan perjumpaan pertama kita, perjumpaan ketika senja tiba. Tentu saja ketika itu kau mengatakan semua itu hanya kebetulan saja.

Kulupakan sejenak tentang setumpukan kartu pos bergambar adik. Aku menyesali dan mengutuk mengapa sepasang sayap itu tumbuh di punggungmu. Kau benar-benar menjelma lain ternyata. Aku sebenarnya tak pernah yakin pada ceritamu. Kau meyakini jika kelak sepasang dapat tumbuh di punggungmu. Akhirnya, sepasang sayap itu memang tumbuh di punggungmu, melebihi apa yang aku percayai dan yakini. Adik, mengapa harus kusangkal semua yang kau ceritakan perihal sepasang sayap tumbuh di punggungmu.

Terkutuklah aku kini.
Jika aku dapat mengulang waktu, aku tentu ingin sekali memotong sepasang sayap yang tumbuh di punggungmu itu. Aku ingin memotongnya ketika malam tiba, ketika kau tengah terlelap dan sepasang sayap itu tengah menguncup. Aku mau merenggut sayapmu itu diam-diam. Diam-diam pula aku merasa ingin memilikinya. Aku ingin memindah sepasang sayap di punggungmu ke punggungku.

Ah, mengapa tiba-tiba harus terbersit keinginan demikian? Kau tahu adik, aku sangat ingin terbang dari satu kota ke kota lain. Aku benar-benar bosan terpenjara dalam rumah kecil ini. Aku juga ingin bepergian ke tempat dalam setumpukan kartu pos yang kau tunjukkan padaku. Aku sungguh iri padamu. Kenapa harus kau yang memiliki sepasang sayap di punggungmu itu. Adik, dalam waktu semalam saja, dengan sepasang sayap di punggungku, aku akan berkeliling mencari tempat-tempat yang ada dalam setumpukan kartu pos itu. Hanya dalam semalam saja adik.

Akan tetapi, ternyata kau mendahuluiku. Aku memang berkelana dari satu kota ke kota lain, namun kuperlukan waktu yang entah untuk berapa lama. Adik, setiap malam aku juga menyaksikan kota-kota yang ajaib. Kota-kota penuh dengan sorot cahaya lampu yang menyilaukan mataku. Kota yang dipenuhi tempat-tempat bercahaya yang bernama diskotek, kafe, atau hipermarket.

Aku harus selalu memendam kecewa akhirnya. Ternyata kau memang tak berada di kota itu. Aku sangat yakin dan percaya kalau cahaya silau itu menyembunyikan tubuhmu. Mungkin kini aku bisa membenarkan, mengapa dulu kau sangat mencintai keremangan.

Kau tak pernah membiarkan rumah kita bermandi cahaya. Cukuplah satu dua lampu saja sebagai penerang. Asal tidak gelap menyelimuti rumah mungil ini. Keremangan akan selalu melindungi kita dari kelelahan. Sesudah seharian kita dihinggapi penat. Keremangan ini akan membuat kita terlahir kembali. Aku juga akan kata-katamu, keremangan akan mengingatkan kita pada saat-saat di dalam rahim. Saat-saat paling hangat dalam kehidupan kita. Sungguh aku tercengang ketika mendengar penjelasanmu itu. Ada sedikit cahaya dalam rahim ibu kita. Itulah mengapa kita dapat bertahan hidup di dalam sana.

Adik, kota-kota silau cahaya ini makin mengurungku. Tubuhku tidak tahan lagi. Aku menyaksikan banyak perempuan dengan wajah yang dipoles sedemikian rupa. Wajah mereka serupa boneka dengan baju yang sedikit terbuka. Aku ngeri menyaksikan itu. Baru sekali ini aku menyaksikan manusia-manusia semacam itu. Adik, semoga kau tidak berada di antara mereka. Aku sangat berharap jika kau segera di depanku malam ini. Aku sungguh ingin terbang meninggalkan kota mengerikan ini bersamamu.

Malam terus saja memanjang. Aku masih setia dengan pencarian ini. Aku kini tak tahu batas antara tidur dan sadar. Kurasakan dalam tidur aku berjalan, begitu juga sebaliknya. Aku sungguh tak pernah menghitung seberapa jauh aku telah berjalan. Hanya kau yang ada dalam pikiranku. Aku abai meski setiap orang menganggap aku sebagai mahluk asing. Mereka selalu menertawakanku setiap aku bertanya mengenai dirimu. Mana ada perempuan bersayap di kota ini, jangan-jangan aku sedang bermimpi, seru mereka. Adik, benarkah semua orang memang seperti itu. Apabila demikian, aku akan sangat damai berada di sisimu.

Ah adik, apakah kau akan mengirimiku setumpukan kartu pos lagi? Aku kini juga tak tahu bagaimana keadaan anak kita. Kutinggalkan ia di rumah. Semoga ia tidak seperti aku yang terus mengikutimu. Adik, aku khawatir jika dia menjadi pejalan jauh seperti aku. Jika di sayapmu tumbuh sepasang punggung, mungkin kakiku ini sudah melebihi sayap dan aku terbang tanpa sayap untuk mencarimu. Aku merayap dari kota ke kota. Kadang dalam kesepianku, aku menulis surat untukmu. Kutitipkan ia bersama angin atau kularung ia jauh, ke sungai, ke laut. Semoga surat itu sampai padamu.

Sepasang sayapmu adik, apakah kau memang bukan manusia seperti kami? Entah mengapa aku jadi berpikir seperti itu. Entah, aku mulai terpengaruh oleh orang-orang yang kujumpai selama perjalanan. Sepanjang perjalanan, aku selalu melihat patung perempuan bersayap. Mereka menamainya sebagai bidadari. Apakah kau mungkin mahluk langit yang diciptakan untuk turun ke bumi.

Terkutuklah aku karena telah mendekati mahluk langit yang suci. Oh adik, maafkan aku. Akan tetapi aku tetap akan mencarimu. Aku tak peduli jika harus ke langit untuk mencarimu. Aku tak takut kalau para dewa harus menghukumku. Aku berpikir jika perjalanan ini memang ditakdirkan padaku. Aku harus mencarimu ribuan mil, ribuan tahun.

Adik, sekarang aku tidak tahu, apakah aku sedang tertidur. Sementara keriuhan kota-kota terus menenggelamkanku. Aku terjebak oleh lanskap kota penuh cahaya ini. Suatu waktu, aku terkepung oleh asap kota. Ya, kota dalam kartu pos. Kota yang dipenuhi kekacauan, persis gambar yang selalu kusembunyikan dari si kecil. Kota yang penuh kekacauan adik. Aku menyaksikan lebih dahsyat dari gambar dalam kartu pos itu. Sepanjang hari adik, orang-orang berlari dengan tatap nanar. Tatapan yang menakutkan. Bangkai-bangkai tergeletak di jalanan. Bau kota jadi amis.

Adik, jika kau mendengarkanku, selamatkan aku. Bukannya aku takut, tapi aku tak tahan dengan bau anyir ini. Bau yang tak pernah kujumpai di rumah kita. Adik, perjalanan di kota kacau ini sungguh memilukan. Jerit tangis mereka yang dicekam ketakutan amat menyayat-nyayat hatiku. Tumpukan bangkai terus bertambah di depan mataku. Aku tak dapat berbuat sesuatu. Yang dapat kulakukan adik, hanyalah mencarimu.

Aku sangat berharap perjalanan di kota kacau ini akan segera berakhir. Aku berdoa semoga ini hanya mimpi buruk. Adik, aku sangat ingin kau kini berada di depanku dan segera membawaku pergi dari kekacauan ini. Adik di tengah kota yang porak-poranda ini, aku rentangkan dua tanganku. Aku pejamkan mata. Aku sudah benar-benar memasrahkan tubuh ini. Lamat-lamat di tengah kekacauan, aku bayangkan suaramu lembut terdengar. Aku merasakan kau menyambut tanganku.

Benar, sentuhan lembut ini memang tanganmu. Aku sangat ingin membuka mataku, tapi aku tak ingin menyaksikan kota yang perlahan hancur ini. Adik, izinkanlah aku membuka mataku. Aku ingin memandang kembali wajahmu. Aku ingin segera mengakhiri perjalanan panjang ini.

Adik, kubuka mataku untuk kali pertama sepanjang perjalanan ini. Aku merasakan terbebas, akan tetapi tetap tak kujumpai di mana dirimu. Padahal, sentuhan tanganmu masih lembut kurasakan. Kota di sekitarku masih sibuk dengan kekacauannya. Puing-puing bangunan mulai terlihat di mana-mana. Aku tak menangkap kehadiranmu, hanya saja bebauan anyir itu kini tak lagi tercium.

Hanya bau wangi kehadiranmu, seperti saat kali awal kita berjumpa.
Adik di mana dirimu. Mengapa setelah perjalanan jauh ini tak dapat melihatmu? Aku tak merasakan apa-apa selain menyaksikan kekacauan di bawah sana. Aku tak menyaksikan dirimu ada di sini, meski perlahan aku merasa kau tengah membimbingku terbang dengan sepasang sayap di punggungmu. Semua kini begitu kosong. Aku menyaksikan tubuhku tengah pulas tertidur di bawah. (*)

NB : Cerpen ini termuat pada Harian Bangka Pos tanggal 20 Maret 2011

Komentar

SIE mengatakan…
aku suka cerpen ini..baguuus..
terima kasih...terima kasih...tapi apa gak mbulet ceritanya?

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI