Langsung ke konten utama

Puisi-puisi untuk Ponari


Di Balik Kerudungmu
di balik kerudungmu, kugemakan tanya, ingatan,
juga mimpimimpi liar yang pernah kau lukis dalam arah
selekuk wajah
segala kelahiran kau mulai saat marabu bergerak
rajah kenangan memekak, memeta retak
pada setiap jejak
jejakmu tak legam kupupus, tak habis kukikis
tikammu biru, mengulang aral pertemuan
ketika awal kita bertemu; untuk saling bunuh
maka kau dendangkan padang, sebuah dinding,
tebing, juga masa lalu
dinding kau lukis darah, darah anakanak
sedekap lepas, melepas doa
angkaangka keramat tercetak
dalam rahimmu, juga keningmu
di balik kerudungmu, doa ibu terkandung
tapi kau lupa memadam api
yang minta kumaknai
barangkali aku bertudung dalam kerudungmu
rumahrumah gelap, masa depan geragap
kepungan seribu hantu berseru
memadahkan gaung syahdu
2008

Layang-layangan

suatu musim kelak kau akan tahu
bagaimana usia pohon mulai menghitung
membaca seram cuaca atau tarian bara
yang luntas di sudut malam
kau tahu tentang rumah mungil,
monumen, tempat darah kerap menggantung mimpi
mimpi-mimpi yang tak tercatat dalam sejarah
kau tahu generasi pembantaian terlahir
serupa patung terpotong
adegan yang berlukis gerimis
pada tanah
hingga kita teringat, ada yang tak harus dikenang
ada yang harus tersingkir
atau terkapar lapar
di udara

2007-2008

Rekuim Zaman

selepas hujan, kelak kau akan rindukan
kupu kupu melayang melahirkan dataran bangkai
hantu hantu kota bangkit
mata gerimis biru tercatat pada segenap dinding tunas
ada yang terlupakan dari tengah muara
kesenyapan
bagaimana hulu sungai meledak dan anak
anak panah dewasa dngan darah
yang dicetak oleh sebagian
keinginan kita
tapi kita tak pernah terbuai kehendak
menyentuh malaikat
bagaimana atap atap kerap tersembunyi
dan otak tak lebih dari jendela yang tak pernah
terbuka
dari belantara sungai,
ada mimpi mimpi
ada angin
sekaligus bau amis yang kerap
menggoda kita selalu bercumbu
kita tahu sepetak ingatan kita
tak pernah terpeta
usia kita terus dewasa
melumuri bau mesiu yang kita
agungkan bertunas dari tubuh kita
kita kerap tahu, letak menara
tanah tanah tak bernyawa
atau anak kunang yang kita
setubuhi sedemikian rupa
serua alienasi yang selalu gagal
mengajak kita berinkarnasi
ke awal kita bermula

2007-2008

Lalu Kukuburkan Seratus Planet di Dadamu


lalu kukuburkan seratus planet di dadamu
serupa kegembiraan burung terkurung pada
berabad pembunuhan
anakanakmu terlahir dan gerimis ombak kulukis
dari sebalik kubur yang terpajang
antara jendela dan tiang gantungan

2007

Kepompong Penyair


mataku yang picik menggali kubur semut
pisau-pisau kenangan terbuka terbang
melecutkan malam amfibi. pada sebentuk lingga
betapa gairahmu menganga
alir rumput menyuarakan semu
di gerbang ingatanku, laba-laba membangun
jantungnya. tapi mumi otakku seketika
murung. malaikat-malaikat masa lalu
bernyanyi menggemakan suar kelam kelabu
dengan kegaiban bibir pelacur

aku wujudkan gurat-gurat cemara berledakan
lidah bulan kaku menggenapkan waktu
bermuka patung. betapa sungai adalah kegilaan
seperti tari nabi-nabi yang mengutuk angin
arwahku hidup lebih sesat. pada kelas kenangan
betapa puisi jadi tak menyenangkan
fantasiku lancang mencela butiran salju
pemabuk dengan warna rabun melayang
menjadi berita cuaca yang gagal terbaca

segera segala kemustahilanku memberi nyawa
lubanglubang gerhana. perutmu yang mulus
menggugah tanganku untuk membunuh siput
sungguh, seratus tahun lebih kubentangkan
tubuhmu yang putih mengapung
tiang-tiang jahat di selatan mengamuk
menculik terakanku yang lebih sumbang
dari aroma mobil terbakar
mengingatkanku pada kepompong penyair yang urung
memahat planet putih di pinggulmu

2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI