Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Liris Dody

kidung pengelana

bertahun, telah jauh
aku meninggalkan rumah

tak kuhapal lagi
mana letak pintu
dan jendela

bahkan tempat halaman
yang tak kutahu
seberapa luas dan sepinya

karena telah kusinggahi
segala wujud rumah
di seluruh penjuru benua

rumah yang nampak sama,
rumah yang menipu mata
yang perlahan mulai renta

2009

seseorang semirip dirimu

seseorang semirip dirimu
berdiri di sela hujan

di mana waktu
hanya sepenggalan pesan
pergi dan datang

"apa kabar?"
sapamu pada kesunyian

kau masuki halaman
tempat puisi pernah bersarang

lalu kau temukan

seseorang semirip dirimu
berdiam di malam lengang

malam puisi dan bulan
berwarna sepersis kelam

2009

tembang penimang hujan

kami suka menimang titik hujan. kami tergoda pada liris air yang lupa jalan pulang.
air yang tumbuh serupa kumpulan danau di ketinggian. air yang memandang kami
bagai anak-anak dengan tatap paling lengang

di lain waktu, titik itu kerap singgah di kulit kami, di pepori, lantas mengalir ke hati
kami. kami selalu merasa, titik-titik itu ialah ikan berlompatan yang biasa kami lepas
di kala gerimis pertama tiba. ikan-ikan yang kami namai sebagai jiwa kami di masa
purba

di lain tempat, hujan itu menyimpan salam pada sepasang telinga kami.
salam dari perempuan paling kami rindukan. sebab di dadanyalah, sekian kami
mendengar degup pertama, degupkencang ketika tubuh kami lemah dan sepasang
mata kami belum mampu menilas pandang

2009

hikayat pedoa

diucapnya kata pertama, kata yang ia
dengar dari sebentang malam hampa.
kata paling diam, sediam sepi malam

di sana, ia terpisah dari kata-kata lain
dari sepi lain yang biasa melingkupi
mimpi dan tidurnya

kata kedua ia kenang dari awan-awan
berpendar. awan pecah yang ia tatap pelan
sepelan langkah rentanya di depan altar
ia selalu merasa udara tertahan,
mendekam di telinganya

ia mengira, dekam itu ialah dedoa
yang ia panjatkan, dodoa yang tak pernah
tiba di ketinggian

seterusnya ia rangkai kata dari lengang
yang menudunginya, lengang rahasia
yang kerap ia dengar, yang ia sendiri
tak tahu makna dan artinya

2009

ritual kata

kami gemar membaca doa-doa di larut petang
sebab kami percaya, sebagian dari kami
tersimpan dan menyimpan diri di lubuk kata
sewaktu-waktu, malam akan memanggil kami,
mungkin sebagian dari kami, untuk menjadi lentera
di celah sunyi, di hati dalam yang tak pernah kami raih

kami senantiasa menghapal kata-katanya, menghitung
satu dua kalimat yang biasa kami baca. sebab kami tahu
kata, kalimat itu perlahan menjauhkan kami dari sepi,
dari hantu yang terlampau sering jadi bayang-bayang kami
dari ingatan yang bersembunyi di kiri kanan kami
sebab menjelang pagi, kata-kata yang kami kira
sebagai doa itu kami pandang pelan-pelan menghilang.
kata-kata itu berubah rahasia paling diam

2009

Dody Kristianto lahir di Surabaya, 3 April 1986. Belajar di sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Giat di Komunitas Rabo Sore (KRS) Surabaya. Saat ini tinggal di Sidoarjo.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI