Langsung ke konten utama

Muat di Surabaya post, 15 Maret 2009

Lagu Kelam Rembulan

- sajak bagi Julia

"betapa jiwa kesakitanku terlahir, meneguhkan segenap Khidir

yang terpinggir, di sekian ribu tafsir, di seluruh sepuh takdir"

Mimpimimpi itu kian ganjil Lia, seganjil pesona mendung tercipta

di bias padam bibirmu yang kian memburu.

Sebagai ingatan akan waktu, kuimani beratus serdadu liar pecah

sepanjang urat nadimu. Pertanda rumahrumah malam diteguhkan

dan kabut ditinggikan, atas kegelapan yang tidur di awal

rasa mabukku.

Esok, segera kurayu keliaran tubuhmu. Sebab segala cuaca

adalah ajal menunggu, menguncup tanpa tahun cahaya.

Rupanya lanskap hijau muram adalah anakanak terpampang,

berjalan sekujur putih kulitmu yang menyimpan segenap merih

rindu. Lantas, melampaui kilatan kekupu, pikiranku yang tercencang

sepanjang abad meletup, melebihi lambang cinta

terpancung di dasar gema.

Segera, sajaksajakku berakhir sepilu pekik, menembusi sulur

pendek rambutmu. Dengan ketajaman jurang terpajang, deritaku

yang lebam mengambang. Berayunalun serupa lagu kelam rembulan.

Menyayati pelayaran mistisku paling bengal.

2008

Mendung Melepuh

mendung melepuh, beserta musim yang gurita

kepada kata. Hujan perlahan memipih

dalam patahan sungai lirih di setiap benih

yang rintih. Betapa tangan mengambangkan kabung,

mengapungkan kabut yang menyimpan segenap

mata air beku. Kepada setiap tahun loyal

kebisuanku kian meronta, antara liat waktu

dan malaikat misterius. Seraya mimpi buruk memeta :

talkin setengah tiang menyerbu ke penjuru tubuh

2008

Pada Sebuah Malam Aku Menjelmakanmu Perempuan

Pada sebuah malam aku menjelmakanmu perempuan

mimpimu kutawan, bersama sejuta lenguh pesakitan

tapi kubayangkan rumahrumah terbakar,

anakmu rengkuh redam pada sebalik rahim

yang terjura antara punggung dan kenangan

aku agungkan payudaramu tembang sekaligus

tercakar, dalam erangan juga kutukan tusukan

yang mensucikan seluruh abu, beserta tiang terpampang :

ringkih pelabuhan. Kugemakan nafsuku bersama jalan

jalan. Ingatan jahanam menembakkan ribuan

labuh serupa wiski terseduh, perjamuan

tualang jalang

pada sebuah malam aku menjelmakanmu perempuan

bersama bulan lalu terdampar dalam sebentuk nanar

2008

Jalan yang Kulewati adalah Hantu Sendirian

Jalan yang kulewati adalah hantu sendirian

satu kelahiran dipancang dari mulut awan

ombak gemuruh terbang dan arakan kabut

menyabitkan cinta

tapi gorong nafasku penuh sesak pelacur

kesetianku menghukum malaikat berteduh

Segala metafor kegemilangan menghijau

meratapi tahun dari segala keheningan

melalui gedung, aku berkaca

sumursumur kuhempaskan dan rumah tanpa

jendela setia kuberi nyawa

betapa kenanganku terluka

menerawang mendung seperempat abad

malam memeluk malam

serta zombi dengan pesona birunya meledak

menerbitkan kebuasanku yang bermata cinta

Dari kegilaan pantai tumbang

pohonpohon menyergapku

jalan tinggal jalan

dengan siang menyembulkan sesosok jalang

Jalan yang kulewati adalah hantu sendirian

kala senja memekik

burung dengan tariannya membekap

sekujur mulutku

dengan lantang kuteriakkan

rekuimrekuim berbaju zirah

sebab segala nyanyian terkutuk

dalamku

dan hari merah kuimani

mencecap sungai

persis jalan hantu kulewati

2007

Persetubuhan Waktu

Seperti bayangan bergigir

kegelapanmu lahir dari kepenatan

di lorong waktu

kusadari lehermu temaram

dan kesepianmu membahasakan padam

di jantungjantung kota

kau urai rambutmu

dengan segala wujud kupukupu

"helai jubah yang terlahir

dari rahimmu menggasangkan api"

tibatiba kau lempar aku

pada pesisir :

di mana payudaramu membuncah

dan bayanganku menjelma kabut

"tempat kita kubur dan semaikan benih

yang jatuh dari sungai bulan"

tak kusadar, betapa lamunanmu jadi keranda

dan di kampung tanpa peradaban

tubuhmu memudar jadi bermiliar kali

planet angkasa

aku nikmati, segala rupa keramaian di matamu

; telaga tempatku tenggelam dan burungburung

mengiris bangkainya melebihi lengan tersayat

seperti halnya kenanganku akan gerhana

yang membandang di rahimmu

2007

Dody Kristianto, lahir di Surabaya, 3 April 1986. Belajar di Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Menulis puisi, cerpen dan sedikit esai. Karya-karyanya terpublikasi pada beberapa media dan antologi bersama. Bergiat pada Komunitas rabo Sore (KRS) dan menjadi penggerak forum Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI). Saat ini tinggal di Sidoarjo.

Email : dody.kristianto@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI