Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Guntur Sekti Wijaya

CINCIN TULANG

jangankan mencabut, memasukkannya saja belum!


tetap saja emplek di jalan Sakura
datangkan imigran hitam-putih
yang berada dalam klasemen warna

tiada lincak
hanya maskot-maskot tubuh
sajikan nikmat
dan renungkan peragawati di atas jalan

sebening aqua
menjelma umpan segar
hilangkan tengik hati
dari slogan hitam berasap putih
juga sanjung tahi

ooo... cincin tulang
masukkan diriku di sela rindu
jauhkan dari radio dengkul
atau patroli peras hati yang kisahkan hitamnya malam

ooo... cincin tulang
aku munafik
melilitkan diri pada sebatang rokok
menunggu kualat

BIRU

cuaca pagi tak kunjung membaik

tetap menetap di ujung jazirah
mengambang, mengenyam siulan fauna

klinik kumuh tetap saja membosankan
menambah rekapitulasi hitam gulita yang gelap
menyeringai memancing geram
hingga roda yang berputar berhenti sejenak
: untuk mencaci

tersebut belum final, belum semifinal

mungkin bisa untuk sekadar termangu di atas sofa
namun harus terpejam mata
menghindar dari kilauan video
atau slide show berwarna biru
yang menghancurkan vibrator di dalam jantung

masih tegak berdiri
bernaung di bawah klorofil untuk sejenak melupakan sebuah intan

BERHENTI BERHARAP, BELUM!

ibadahku kau borong dalam cinta
dzikir dan doa hanya kata
karena garong cinta masuk di lemari besi
pada satu situasi

hatiku hanya gurun
memancarkan fatamorgana elok parasmu
hanya parasmu, cantikku ...

terhuyung kumenghadapi siang-malam
terguyur jemu
mendengkur di lapak lapik tidur
setelah menjalani longmars;
demonstrasi hati, bukan untuk skripsi

tanpa darah dan nanah
sekadar najam yang terhalang mega
yang mengajarkan sabar untuk gembira

“T’lah perawan dirimu
tapi tak sudi jika pestapora bukan untukmu dan ku”, aku

setanganmu mungkin untuk air matamu
tapi yakin, bukanku
merdu dari seruling
tanakkan curahan rasa siap saji
dengan tembang bergenre iris hati

tingkatkan ubudiah buka jalan
tetap saja gerhana
dan bukan cum laude
tetap pula merana

“Tolong, cairkan suasana!”

AJI-AJI SEMU
kadar hemoglobin mulai beku
seiring cello yang lantunkan malam
kepada tiap bintang yang mulai balig

violis mendendang harapan pagi
bangunkan benua cinta yang mulai tenggelam
kilapkan daun dengan ungu
membakar cadar di sela ozon
di ujung timur

citra matahari kuyu
dzikirkan asma Allah dengan tasbih

dahaga yang menjerit tak terlawan
taburkan kosong dalam cinta
hingga edan
lalu lahirkan spesies buta

gada mulai condong kepala
tanpa sempat ceritakan sidratulmuntaha
menggelembungkan jutaan riang maya
satukan laras senapan pada satu titik
untuk harakiri
di atas bara sekam
yang mulai diredam hujan renyai

dosa-dosa bersalto
iringi langkah mantap
gunakan rasa respek
untuk berjibaku di antara dunia

psikotropika protes
bunyikan kelompen tiap napas
menggugat jantung yang peroi
sesekali berdetak kizib
tawakan peci di atas televisi

kuas-kuas alirkan drama
opor ayam kejutkan mata
bebek goreng temani lalap
dan nur yang agung tetap natural

keceriaan meletus
bangunkan monumen para sesepuh
tangiskan majikan dengan melodi disko
lalu memakan masjid
lupa minum martabak



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI