Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Dody Kristianto di Lampung Post, 8 Mei 2011

nah, ini, saya gerojok lagi dengan puisi-puisi saya. kali ini ada yang muat pada harian Lampung Post. beberapa, jika diperhatikan beberapa judul adalah versi remake dari puisi yang muat pada Majalah Kidung. monggo dinikmati

Penunggu Pancang

terima kasih

sudah kau memarkan

tubuh kami

jejarum lancipmu

melebihi bilah pedang Persia

yang berulang

menghunus tubuh kami

tapi sungguh

kami tak kunjung mati

sebab kau bukakan lagi

pintu bagi kami

menuju liang :

alamat para penggali

mencintai namamu

yang tak mampu

kami seru lagi

2011

Pencatat Hikayat

ia selalu kembali

serupa padri yang tak mati

segala bara dipindainya

untuk langit yang tak ia dapati

di kamar sempitnya

2011

Pengusung Hujan

sepasang tanduk

lebih tajam

melukai pipi malam

sepanjang tatapannya,

sebarisan semut

pendar

berpencar

dari liang tubuh

menangkap kemercik

yang diyakini

sebagai benih cinta

untuk musim tanam

yang akan datang

2011

Tiga Tilas Kuping

bunyi pertama :

sepasang kesabaran

yang bosan melintas

sebab telah renta ia

melebihi kerentaan daging bumi

yang tak kunjung ia retakkan

bunyi kedua :

sepasukan pengelana

yang tak ingin berpulang

ke ketinggian

sebab purna sudah ia menarik

segala macam kerinduan

yang dipanjatkan manusia

ia lelah mendengar doa

dan semua mantra

bunyi ketiga :

selembaran kitab langit

yang alpa diisi

sesudah semua bidadari

turun ke bumi

menjelma sehamparan biji

paling putih

sehamparan biji nan letih

nan kelak tak kekal-abadi

2010

Perihal Singkat Selepas Hujan

pelangi :

ia benih yang lama iri

sementara hujan sudah merampungkan

sarapannya pada cawan pecah ini

sorak katak :

pulang, pulanglah ia pada tepian telaga

seusai sepi mengepungnya hanya

dan sayap beningnya tanggal sempurna

mengemas payung :

terbang sudah ia

sesudah rindunya yang semenjana

ditetaskan awan paling tumpah

2010

Dody Kristianto, lahir di Surabaya, 3 April 1986. Lulus Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Giat di Komunitas Rabo Sore (KRS) serta memberdayakan Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI). Tinggal di Sidoarjo.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi