Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Gurih Dody Kristianto

Secarik Kertas dan Kalimat Puisi


Secarik kertas dan kalimat puisi di atasnya

terbubuh di antara sekian kekacauan

dan perlintasan bunyi panjang


Sedang di luar, hujan logam menggasang

mencipta beberapa titik pertikaian,

beberapa bimbang yang mencetak jejak redam


Sementara, kalimat-kalimat mengalun,

satu dua, sisanya tanggal yang tak mampu

kuingat lagi. Seperti mimpi sebuah puisi

untuk sepenggal mlam dan padam.


Secarik kertas dan kalimat puisi di atasnya,

aku rasakan remang berenang

setelah seratus pertanyaan.


2008


Pengantin Diam


di dalam kamar, tiba-tiba kita

menjadi penari yang ingin terbang

ke kayangan

melepas persetubuhan, kenangan

juga seluruh tatap penghabisan


ada jendela, waktu berima

yang membawa kita membiarkan angin

membungkus tubuh, mimpi

dan segenap perjalanan

menuju utara


sebuah berita mengubah kita

lebih kekanakan

seperti sekian tahun terpenggal,

kita adalah penyusun kastil pasir

dan sejumput isyarat dari ombak


lalu sampan-sampan mulai menjauh

meninggalkan kita sebagai pengantin diam


2008




Kota Telah Menyusun Sendiri Penunggunya


Bukan tak ada yang kukenal dari detak

memanjang sepanjang malam. Tapi,

perasaan-perasaan gasal telah menanggalkan

warna dan huruf terpenggal, antara monumen

dan kekacauan.


Semenjak itu, apalah arti sapaan, bagi taman,

menara, sajak-sajak gemetar sendirian.

Kota telah menyusun sendiri penunggunya

dari suara bisik penunggang kuda.


Bulan dan jalan menyatukan arah

dalam satu ranting pohon kerontang.

Konon doa takkan pernah sampai ke sana.


Kota telah menyusun sendiri penunggunya

dari seutas lintas bintang kurus

hingga setiap tahun, bulan dan jam

adalah tatap nanar


bagi pejalan yang menggumam.


2008


Sepasang Pejalan Mimpi


I

Terkadang aku membayangkan

kita berdua sebagai anak-anak tersesat

membiarkan tubuh kita berubah rindu

bagi semut yang mendekat


ternyata ada segumpil sejarah

kita pungut dari kota entah

dan kau tetap berkeras

mengabarkan pada laut


ada anak-anak tumbuh dari mimpi,

melangkah dan lupa jalan untuk kembali”


tanpa kau tahu, laut tak pernah

mengenali debur sendiri


II

Atau kita biarkan saja mendung

jadi rumah bagi sekawanan burung

suara-suara gelap murung


dan aku masih menatapmu berkabung

menjadi patung bagi sebuah masa lalu


2008


Dody Kristianto, lahir di Surabaya, 3 April 1986. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Bergiat di Komunitas Rabo Sore (KRS). Karyanya pernah termuat pada beberapa media, antara lain Surabaya Post, Radar Surabaya, Banjarmasin Post, Buletin Sastra Pawon ,Majalah GONG, Buletin Tera, Jurnal The Sandour.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI