Langsung ke konten utama

Lelaki Yang Menyusu Matahari

Oleh Yusuf Ariel Hakim

Sudah berkali-kali saya menyapanya, seorang lelaki yang selalu berdiri di pagi hari, tetapi selalu saja lelaki itu diam saja, selalu mengacuhkan kehadiran saya. Bahkan ketika saya mencoba untuk bersikap baik padanya meski hanya sekadar berpura-pura, tetap saja lelaki itu tak pernah memicingkan matanya kepada saya, apalagi membuka katup kedua bibirnya yang bersahaja.

Dan ketika saya mencoba meluruskan niat saya untuk menyapanya dengan hati yang tulus dan keikhlasan, tetap saja lelaki itu tak mau menyahuti sapaan saya. Lelaki itu tetap berdiri angkuh memandangi matahari pagi sambil bibirnya komat-kamit seperti membaca sebuah mantra.

Tentu saja, saya menjadi kelabakan dan penasaran, sudah berapa pagi saya selalu menyapanya. Yang bermula dari sebuah keisengan saya lantas menjadi sebuah rutinitas yang seakan-akan menjadi wajib bagi diri saya untuk sekadar menyapanya. Awal-awal hari minggu pertama saya masih betah untuk menyapa dan sekadar mengamatinya. Minggu kedua pun saya jalani seperti biasanya, selalu menyapa sambil mencatat apa-apa saja yang dilakukannya oleh lelaki itu.

Seperti ada semacam magnet dalam diri lelaki itu untuk menyuruh bibir saya di setiap pagi untuk selalu menyapa dengan sebutan yang berbeda. Dan saya sendiri pun heran, entah mengapa bibir saya mau saja untuk mengeluarkan kata-kata hanya sekadar untuk kegiatan yang tak pernah ada hasilnya.

Mungkin bagimu perbuatan saya adalah suatu perbuatan yang sangat hayali dan sia-sia. Atau bahkan mungkin semacam ide gila dalam membuat sebuah naskah pertunjukkan drama. Terserah dirimu menilai saya demikian. Alhasil, saya sendiri pun tidak bisa menemukan jawaban yang pantas untuk kegiatan diri saya sendiri ini di setiap pagi.

Dan dirimu pasti menyangka pada saya bahwasanya cerita yang saya buat ini adalah bohong belaka. Mana ada orang di setiap pagi selalu memandang matahari dan selalu bibirnya komat-kamit seperti merapalkan sebuah mantra. Saya tahu dan saya mengerti bahwasanya saya tidak bisa meyakinkan diri saya atas apa yang saya lihat apalagi untuk meyakinkan dirimu yang tak pernah selalu memercayai cerita saya.

Tapi biarlah aku akan menceritakan semuanya ini padamu, kalau di suatu hari saya menyapanya untuk yang terakir kalinya. Dan mencoba membuka percakapan yang bagi saya sendiri masih terasa asing. Lebih baiknya ikuti saja jalinan percakapan saya dengan lelaki itu.

Selamat pagi yang ke seratus lelaki yang selalu mengusikku untuk memandang matahari dengan sempurna. Seperti seorang bayi yang menetek pada putting susu ibunya, saya melihat anda sangat begitu antusias untuk selalu menyusu di setiap pagi pada matahari.

Bukan saya berkata sok tahu pada anda, tapi yang saya lihat anda benar-benar membuat alam pikiran saya untuk mengatakan bahwasanya anda benar-benar gila. Saya katakan anda gila, karena anda selalu melakukan perbuatan yang sama, perbuatan ganjil yang selalu di ulang-ulang.

Bahkan kegilaan anda ini membuat saya juga ikut menjadi gila untuk selalu menyapa dan mengamati anda di setiap pagi. Seolah-olah anda telah menyuruh saya untuk melakukan perbuatan yang demikian. Sebenarnya saya benar-benar ingin memberontak dengan kegiatan anda ini dengan keacuhan anda terhadap saya, tapi rasa penasaran saya yang sangat membesar kepada anda yang membuat saya bertahan untuk tidak meninggalkan anda sedetik pun di setiap upacara pagi anda.

Seakan-akan rutinitas yang anda lakukan itu telah membuat satu rutinitas pula bagi saya. Tidak munafik, saya memang ingin jawaban dari anda tentang rutinitas yang anda lakukan ini hampir setiap pagi untuk yang keseratus kali ini, yang tercatat di agenda buku kerja saya. Awal-awalnya saya berharap demikian, semoga anda membuka hati anda untuk selalu menerima sapaan saya. Tapi entah mengapa, hati saya selalu mencegah untuk tidak melakukan tindakan yang anarkis kepada anda. Saya tahu, anda pasti merasakan kehadiran saya.

Tiba-tiba lelaki itu menggerakkan bahunya.

Tiba-tiba lelaki itu menggerai rambutnya.

Tiba-tiba lelaki itu menggerakkan kakinya.

Tiba-tiba lelaki itu menggempalkan kedua tangannya.

Tentu saja, saya tahu gerakan lelaki itu karena saya berada di belakangnya.

Tentu saja, saya tahu gerakan lelaki itu karena saya mendengar detak nafasnya.

Tentu saja, saya tahu gerakan lelaki itu karena saya merangkul pinggangnya.

Tentu saja, saya tahu gerakan lelaki itu karena saya meniup-niupkan angin di telinganya.

Saya gila dengan perbuatan anda ini. Saya gila dengan ketidakwarasan anda yang selalu berdiri memandang matahari. Saya gila, dan saya benar-benar telah gila, teriak saya kuat-kuat sambil tetap merapatkan rangkulan saya pada lelaki itu.

Tapi lelaki itu tetap diam.

Tapi lelaki itu tidak bergeming.

Tapi lelaki itu tidak bersuara.

Kaku.

Mengeras.

Kaku.

Mengeras.

Patung.

Ya, patung.

Patung.

Bisakah?

Mungkinkah?

Nyatakah?

Mimpikah?

Saya pun melepaskan rangkulan.

Saya pun melepaskan jepitan tangan saya.

Saya pun mencoba melangkah, mencoba bertatapan muka kepada lelaki itu.

Saya pun ingin menatap wajahnya.

Benarkah?

Benarkah ini kau?

Badan saya tiba-tiba lemas. Kaki saya tiba-tiba lunglai. Malin…..lirih bibir saya terbata-bata.

******

Biodata penulis:

Yusuf Ariel Hakim. Lahir di Surabaya, 1 April 1982. Bergiat di KRS (Komunitas Rabo Sore). Masih tercatat sebagai Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI