Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2012

Menolak Kanalisasi Puisi Jawa Timur

Oleh Arfan Fathoni* MENYIMAK esai F Aziz Manna yang berjudul “Tiga Aliran Puitika Jawa Timur” sangat terasa sekali bahwa para kritikus (atau pengamat?) sastra kita masih gemar dengan kanalisasi dan dikotomi, membagi-bagi masyarakat menjadi beberapa blok. Di satu sisi, hal ini dapat memudahkan kita dalam mengidentifikasi, lebih-lebih meneliti secara mendalam sebuah kelompok dan estetika yang diusung suatu kelompok. Namun, di sisi lain, pendikotomian itu tak pelak akan menimbulkan pola-pola pemikiran bahwa hubungan dalam sastra ternyata kurang lebih sama dengan hubungan gangster. Di mana, seseorang harus bergabung dengan seseorang yang lain untuk menghadapi kelompok lain. Aziz membagi aliran puitika Jawa Timur dalam tiga kelompok besar : aliran para pemilik teguh puisi gelap, aliran para peyakin puisi terang, dan aliran alternatif penganjur suara-suara lain yang dipelopori oleh W Haryanto. Pembagian ini sendiri sudah mengesankan hal yang berbau Surabaya-sentris. Artinya, pemba

Multikulturalisme : Basquiat yang Mendobrak Andy Warhol

esai Faisal Kamandobat Kita buka perbincangan multikulturalisme dengan menyebut nama yang tak asing lagi: Jean Michel Basquiat. Mungkin tak ada yang menyangka dia akan menjadi legenda seni rupa. Basquiat lahir dari keluarga negro-Amerika yang berantakan dan tumbuh di lingkungan yang sama. Kasarnya, ia tak memenuhi syarat sukses menurut ukuran borjuis kulit putih: lahir dari keturunan baik-baik, menempuh pendidikan dengan nilai bagus, dan lulus dari universitas yang diperhitungkan. Akan tetapi, Basquiat lahir ketika perbudakan dan rasisme diolok-olok, nilai konservatif kelas menengah mulai ditinggal perubahan sosial yang gegap, dan sikap akademisme kaku jadi bulan-bulanan kompleksitas sosial. Kemunculan Basquiat dibentuk konteks itu, dengan lukisan-lukisan khas ekspresi kaum negro: coretan grafiti, ikon-ikon acak serupa ragam hias primitif, figur-figur anatomi mahapincang, dan warna yang bikin pusing pelukis realis jempolan. Tema-temanya pun tepat dengan bentuk visu

Perihal Musim Ketiga Rabo Sore

Dody Kristianto Semacam Pertanggungjawaban Pertama, saya akan selalu mengelak dan menolak sebutan kurator yang dialamatkan pada saya, yang menyeleksi puisi-puisi dan cerpen dalam kumpulan ini. Tersebab, memang bukan kapasitas diri saya dan saya menganggap tugas saya hanya sebagai penyeleksi puisi yang akan ditampilkan dalam buku ini. Tugas kuratorial harus memiliki satu konsep mengenai isi buku atau garis besar yang akan ditampilkan kepada khalayak luas. Sementara, saya masih ingin berbicara sebagai penikmat, sekadar penikmat, dengan konsep yang tentu sangat subjektif. Konsep yang saya yakini dalam membaca puisi dan cerpen. Maka saya hanya berposisi sekadar sebagai pembaca yang diberi kewenangan lebih untuk menentukan puisi-puisi yang akan dimuat dalam buku kumpulan puisi Rabo Sore ini. Kedua, buku yang akan saya seleksi materinya ini adalah buku kumpulan puisi dan cerpen Komunitas Rabo Sore, komunitas muda namun dengan sejumlah pencapaian yang dapat diperhitungkan pada ra