Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2010

Puisi Goenawan Mohammad

Gandari (fragmen) Lima hari sebelum ibu para Kurawa itu membalut matanya dengan sehelai kain hitam, mendampingi suaminya, raja buta itu, sampai kelak, beberapa detik sebelum ajal… Ia, yang tak ingin lagi melihat dunia, sore itu menengok ke luar jendela buat terakhir kalinya: Sebuah parit merayap ke arah danau. Dua ekor tikus mati, hanyut. Sebilah papan pecah mengapung. Sebatang ranting tua mengapung. Di permukaan telaga, di utara, dua orang mengayuh jukung yang tipis, dengan dayung yang putus asa. Ombak seakan-akan mati. Air menahan mereka. “Mereka lari dari koloni kusta,” kata Gandari dalam hati, “dan mereka lihat warna hitam yang berhimpun di atas bukit.” Malam, sebenarnya mendung, seakan mendekat. Air naik deras ke langit: sebuah pusaran, sebelum hujan datang, lebat, menghantam danau. Dan angkasa gemetar dan mengubah diri ke dalam puting beliung. * Kemudian malam. Malam yang sesungguhnya: pada halaman langit bintang membentuk asteris, yang merujuk ke nama yang tak ada juga

MEMPERTANYAKAN KWALITAS PUISI PENYAIR (ATAS?)

Esai Cunong Nunuk Suraja P enyair makin tua makin mantap jejak guratan penanya. Walau sedikit guyuh tapi tak lekang mengungkap daya kreatifnya untuk disodorkan ke pembaca. Puisi yang tercetak tentu sudah layak uji dan siap atau tidak siap menerima tanggapan pembaca. seperti pernah diungkap Sutardji CB bahwa salah cetak mungkin menjadi berkah atau malapetaka. Lebih-lebih jika dalam salah cetak atau unggah dalam dunia maya kesalah cetakan itu menimbulkan kesalahan logika kata. Dunia wayang memang sumur paling subur untuk ditimba falsafah maupun pengujian tekstual atas makna dan beban pikiran yang mengacu pada kehidupan nyata. Untuk menentukan seorah tokoh pewayangan semisal raksasa Kombakarna hingga patih Sengkuni dalam memahami kejahatan tidak melulu dari tindak tanduk dan kulit luar penampakan tokoh wayang kulit yang gepeng ini. Pada wujudnya Kombakarna adalah raksasa tetapi pada wadag yang besar dan kasar tersimpan keluhuran budi dengan membabi-buta membela negara yang diserang musuh

SASTRAWAN JANGAN HANYA DIJAJAH KEINDAHAN!

Tidak sedikit sastrawan yang mabuk keindahan. mereka terjebak pada “imperium keindahan”—dan lupa bahwa persoalan sastra adalam masalah humanisme: Sastra-Humaniora! Karenanya sastra(wan) harus punya nyali untuk bicara pada kemanusiaan. Kemanusiaan, dan bukan hanya keindahan dan permainan katakata, adalah kunci dari kegiatan kesusastraan. Masalahnya, jika persoalan sastra harus lebih ditekankan pada keindahan, mengapa penghargaan sastra (seperti Nobel Sastra) selalu saja diberikan pada sastrawan yang bicara banyak hal dan mengeluarkan pandangannya—yang penuh nilai dan berpihak—tentang manusia, masyarakat, dan sejarah? Apakah sejarah dan manusia berada di wilayah objektif (ada dan independen) atau hanya harus dibiarkan berada dalam pikiran dan pemaknaan orang, terutama sastrawan? Kalau keindahan itu relatif dan tidak bisa diuniversalkan (dinilai dengan patokan tertentu), mengapa masih saja ada pemilihan tentang karya sastra (atau bahkan film, musik, dan produk-produk estetis) yang terb

FSS dan Semesta Kritik

oleh RIADI NGASIRAN Bersikap dan bertindak adalah berbeda. Akan tetapi, keduanya sama-sama mempunyai satu ujung: risiko. Demikian pula dalam berkesenian, seseorang dikatakan seniman lantaran ia memberikan diri dalam jagat pergaulan kreativitas. Ia pun dikenal sebagai kreator. Berkarya dengan memberikan nilai-nilai kebaruan. Pun bila ia mengalami establish, kemapanan, tanpa diiringi pencarian-pencarian kreatif-eksperimentatif, seolah mendung kesenian menjadi gulita. Maka hujan kecaman turun bak halilintar yang menyambar-nyambar kesadaran akal budi mereka yang berpikir jernih. Di sini langkah seniman, retreat, menziarahi diri, merenung, dan mengambil langkah lagi untuk memaknai kehadiran eksistensinya. Risiko adalah sebuah pilihan, juga kenekatan yang dipaksa. Keadaan yang menjadi orang terlatih untuk menghadapinya dengan lapang. Liu Xia, istri pemenang Nobel perdamaian 2010, Liu Xiaobo, dijatuhi tahanan rumah setelah diumumkan bahwa suaminya mendapat hadiah itu. Risiko itu harus ditang

Tikus dan Manusia

Cerpen Jakob Sumarjo Entah bagaimana caranya tikus itu memasuki rumah kami tetap sebuah misteri. Tikus berpikir secara tikus dan manusia berpikir secara manusia, hanya manusia-tikus yang mampu membongkar misteri ini. Semua lubang di seluruh rumah kami tutup rapat (sepanjang yang kami temukan), namun tikus itu tetap masuk rumah. Rumah kami dikelilingi kebun kosong yang luas milik tetangga. Kami menduga tikus itu adalah tikus kebun. Tubuhnya cukup besar dan bulunya hitam legam. Pertama kali kami menyadari kehadiran penghuni rumah yang tak diundang, dan tak kami ingini itu, ketika saya tengah menonton film-video The End of the Affair yang dibintangi Ralph Fiennes dan Julianne Moore, seorang diri, sementara istri telah mendengkur kecapaian di kamar. Waktu tiba pada adegan panas pasangan selingkuh Fiennes dan Julianne, tengah bugil di ranjang, yang membuat saya menahan napas dan pupil mata melebar, tiba-tiba kaki saya diterjang benda dingin yang meluncur ke arah televisi, dan saya lihat t

Sebuah puisi yang rada dawa, he3...

Keroncong Karam Arit Kelewang -jarak jauh Sidoarjo-Jember hidup kami mulakan, bahasa sebilah kelewang ketika bebukit memanjang, jelma tubuh malam jadi pejalan lambat alangkah hidup kami lebih bertuba paling tuba ketimbang pertempuran mengenali muasal di bukit gersang berpagut segala laut dalam badan kami badan kaum papa, badan segala kata: serangkaian haru tentang tualang yang ciptakan bunuh diri di sepanjang hikayat ada yang kau tahu, bagaimana tubuh kami- tubuh seluruh keterpesonaan pada chaos- bertumbuh, membunuh cahaya harum bersama kebisuan ada pasar, layangan makar melalui setanggul tanah seolah awan dibantah sekumpulan kenangan ratapan mata biru atau sentuhan yang tak kami dapat dari wajahmu --lukisan mengenai kanak sekarat kami sadari, katakata terlarang impresi menanduskan harapan dari pertemuan tidur kami yang agung selalu sama kekosongan berbadik masa lalu ada kematian yang menghirup uap ratusan musim gerimis mundur di kening kami sentuhan kami, mungkin, yang sek

Negeri Peri dalam Kartu Pos

Cerpen Dody Kristianto* Aku sengaja mengirim sebuah kartu pos untukmu. Kartu pos yang tak sempat kukirimkan setahun lalu. Mungkin kau takkan menduga bukan, bila aku merelakan menulis sepatah dua kata untukmu. Walau aku tahu itu berat. Dan setelah membaca kata-kataku, aku tak hendak menebak apa yang ada dalam hatimu. Mungkin kau suka atau lara setelah kau baca kartu pos itu. Bintang-bintang tetap beredar di cakrawala. Tetap pada posisinya. Seperti dulu kau menatap langit ketika purnama tiba. Kau selalu mengatakan bukan, bila di balik bulan ada negeri sekawanan peri. Kau selalu berkata akan hal itu padaku. Kau sangat percaya akan kebenarannya. Ya, kata-katamu kerap membuat aku terlena dan mencoba untuk memercayai hal itu. Kau tahu, aku selalu ingin tersenyum bila mengingat kata-katamu. Bahkan aku selalu merasa kau ada di dekatku dan tetap membisikkan hal itu padaku. Peri-peri yang tinggal di balik bulan? Seperti apakah mereka? Kau selalu mencoba meyakinkan bila se

Poros Paradigmatik Bahasa Afrizal Malna

-- Acep Iwan Saidi BAHASA selalu merupakan hubungan antara penanda (”signifier”) dan petanda (”signified”). Tidak ada kaitan antara kata (bahasa) dan realitas di luar dirinya. Kata-kata diletakkan pada struktur (sistem) dan membangun makna karena relasinya dengan kata lain. Ini berarti strukturlah yang penting, bukan kata itu sendiri. NUT Ferdinand de Saussure, ahli linguistik dan pelopor semiotika, selalu melihat fenomena bahasa dalam perspektif dikotomis. Ia, antara lain, mengonsepsi bahasa dalam dikotomi penanda versus petanda, langue versus parole, sintagmatik versus paradigmatik, dan sinkronik versus diakronik. Pada sistem itulah kemudian ditemukan dikotomi sintagmatik-paradigmatik. Sintagmatik adalah poros linear yang menghadirkan rangkaian kata (kalimat) sebagai sebuah aturan baku (subyek-predikat-obyek). Jika makna ingin diproduksi, aturan ini tidak boleh dirusak. Di dalam poros paradigmatik (asosiasi), kata-kata yang hadir (presence) bisa dipertukarkan dengan yang tidak h

MAHA KARYA SASTRA DI BUMI MAJAPAHIT

1. Buku Sastra Raksasa. Ruang sastra, yang turut membentuk berlangsungnya kebudayaan pasti mengalami titik klimaks dan titik nisbi. Kapan sastra berkulminasi, ia akan mendominasi kadar warna kebudayaan pada suatu komunitas atau negara. Sebaliknya sastra pada titik nisbi, cenderung termarginalkan kekuasaan dan hanya menjadi keranjang luapan keluh bagi pecintanya. Sepanjang meruangnya sastra dalam sejarah ke-indonesia-an, kembang kempisnya kesusastraan juga dipengaruhi pertarungan antar sekterianisme sastra. Yang mana dalam perhelatan itu tiap sempalan (golongan) justru mengamalkan kilas balik nilai pluralisme kebangsaan. Sumpah Pemuda yang mengikat ke satu bangsa, satu bahasa, resmi melibas spora lokalitas. Padahal, keindonesiaan itu sendiri terbentuk dari berbagai lokalitas. Dalam wacana ini, sang ‘ibu sastra’ sebagai inti lokalitas didurhakai dengan mengagungkan ‘sastra pasar’ yang menjual dagangan di lapak media yang berbasis komunal sekterianistik. Disinilah inti lokalitas sebagai a

Festival Seni Surabaya tanpa Tema

Oleh Aris Setiawan Usai sudah event besar bertajuk Festival Seni Surabaya yang berlangsung dari tanggal 6 hingga 14 Oktober 2010 kemarin di Balai Pemuda Surabaya. Sebagai sebuah wadah, Festival Seni Surabaya mampu menyajikan berbagai tontonan yang menarik seperti musik, teater, seni rupa, tari dan lain sebagainya. Namun sebagai satu ruang pemaknaan wacana besar, menjadi penting untuk dipertanyakan kembali, sejauh mana efek yang disandang setelah Festival ini usai? Akankan ia mampu memberi satu diskursus perkembangan yang signifikan bagi seni-seni di Jawa Timur dan khususnya Surabaya ke depan? Atau justru sebaliknya, Festival Seni Surabaya tak lebih dari hanya sebatas rutinitas uforia seni sesaat yang begitu sakral, mahal dan megah ketika berlangsung dan hilang lalu sepi tak bermakna ketika berakhir. Tak Terkekang Menarik kiranya membaca tulisan W Haryanto pada Kompas Jatim edisi Kamis 28 Oktober 2010 dengan judul ‘Surabaya tak Butuh Festival Seni’. Haryanto secara lugas mengkritik ba

Ketapang Kencana

cerpen Bre Redana Aku menanam pohon ketapang kencana (Terminalia mantaly) di halaman. Pohon ini kurasa sangat cocok di halaman rumah Mami yang telah dibangun sangat bagus oleh Teh Rani. Wujud bangunan benar-benar seperti Teh Rani. Sederhana, ringkas, mencerminkan wawasan, pengalaman, dan cara hidupnya yang sangat modern di berbagai negara. Bangunan ini paling modis di situ. Tak ada pernak-pernik di fasat bagian luar. Ia seperti kotak-kotak beton, mengikuti kontur tanah yang agak berundak. Bagian yang menghadap gunung dan bukit terekspos melalui kaca besar. Alam menjadi lukisan terbaik ciptaan Tuhan. Aluminium hitam yang menjadi bingkai kaca itulah piguranya. Penyiasatan ruang yang cerdas. Dinding bagian dalam seluruhnya berwarna abu-abu, sama dengan warna keramik lantai. Hanya ada dua kamar. Kamar Mami dan kamar yang disiapkan untuk tamu, masing-masing dengan kamar mandi menggunakan shower . Di dekat dapur ada kamar pembantu, dan satu kamar mandi lagi untuk dipakai beramai-ramai. Ke

Paradok ‘Rumah Pasir’ Koma

Oleh S.JAI*) SEBETULNYA tak ada yang salah dengan pesan dalam pertunjukan teater. Meski selaku seni tentu yang terpenting adalah kesan. Akar budaya kita cukup megah dibangun pelbagai tradisi yang sarat nuansa pesan—tradisi tutur, wayang, kelisanan. Yang menjadi soal adalah bagaimana sebuah pertunjukan tersebut mengedepankan bangun bahasa dramatif, yang efektif, inspiratif dan tentu saja memberikan pencerahan baik bagi insan panggung maupun public teater yang hadir dalam peristiwa teater. Tidaklah adil manakala para insan teater penyaji pertunjukkan—yang sudah barangtentu lebih dulu inten menggeluti teks teaternya sejak selama berproses—mengalami katarsis, sementara publik teater tidak. Dengan kata lain yang lebih sederhana, tidaklah manusiawi ketika pemain tercerahkan, namun penonton justru dalam kondisi makin kesakitan. Lalu, tidak adanya bahasa dramatik yang padu dan baru sudah barangtentu menggerogoti keutuhan bangun laku dramatik. Disamping pelbagai paradok yang menyudet efek