Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2008

MEMO TIGA MASA LALU

a. di sebuah musim rahasia Di sebuah musim rahasia kutemu pohon masa lalu di sana terpahat namaku dan namamu ketika kita diam bertemu, saling membisu, lalu pulang pada rindu yang jatuh Di pohon itu pula,kupu-kupu berhamburan melambaikan namamu di langit petang tanpa kutahu, mereka meninggalkan namaku sendirian di ranting kerontang Sebab di ranting itu ulat-ulat memamah namaku, satu per satu sampai nama-namaku luruh, kulupakan dan tak kuhapal, satu per satu b. pohon renta pohon renta, yang usianya hanya mampu kita duga ketika bersua di siang lapang sebagai kanak-kanak berlarian bersembunyi dari terik yang memanjang kita tak bisa melawan hingga kita temukan sebatang pohon tua rindang pohon penghalang; senyap meneduhkan kupahatkan namaku, isyarat waktu yang membatu: aku ingin mengenalmu kusemaikan reranting mimpi untukmu, juga bebunga igau, juga kupu-kupu harum bakau agar sesekali engkau singgah dalam sepasang nama yang kita dedah pada rahasia paling purba c. seperti pusaran waktu seperti

Sajak-sajak Ferdi Afrar

Singgah Ia menengadah ke angkasa seperti ada yang menatapnya manja bersembunyi dibalik awan, diantara kerumunan kicau burung. Seperti ada yang menyentil daun-daun dan juga jemuran sarung. seperti ada yang melambai, yang membuat rambutnya terburai. Seperti ada yang menggemerincingkan air, melumutkan dinding. seperti ada yang berbisik, merambat di kuping. Seperti ada yang menggesitkan cahaya di dedahan, kemudian menggambar di permukaan. seperti ada yang mengintip, ingin menyampaikan pesan. Seperti ada yang menunjukkan jalan kepada debu, membuatnya bersayap seperti kupu-kupu kemudian hinggap di matanya. seperti ada yang memberinya kado waktu, tempat ia menanggalkan amuk di tubuh memudarkannya di angkasa. Februari 2008 BILA bila aku dilahirkan kembali, inginku berteduh dalam dekapmu menempelkan bibirku yang mungil ini dalam puting payudaramu, selamanya. sampai mataku terpejam hingga tak terasa sisa susu itu mengalir ke pipiku hingga tak pernah kudengar kata anjing yang meloncat dar

Puisi-puisi Nirwan Dewanto (Kompas 24 Agustus 2008)

selamat berjumpa kembali dengan blog kesayangan Anda ini. Kali ini saya akan menampilkan puisi dari Nirwan Dewanto yang muat di Kompas pada tanggal 24 Agustus 2008 kemarin. Energi kompleksitas Nirwan ternyata masih sangat terasa. Setelah tampil dengan antologi Jantung Lebah Ratu, puisi-puisi Nirwan tetap dengan daya pikat magisnya. Tentunya ini adalah pencapaian luar biasa dari seorang pembaca yang baik. Pun merupakan hasil kulminasi Nirwan selama bertahun-tahun menggeluti khazanah teks nasional maupun global. Selamat membaca. Telur Mata Sapi —untuk Sigmar Polke Hanya mata yang sudah menamatkan Biru samudra mampu menimbang Cangkang letih menggeletar ini. Hanya jari yang pernah bersengketa Dengan merah darah lancar meniti Lengkung seperti punggung iblis ini. Hanya jantung yang sesekali terperam Di gudang bawah tanah patut mengasihani Retakan yang menahan gelegak lendir ini. Hanya lukisan yang rela ditumbuhi Hijau lumut segera memisahkan Telur perempuan dari telur api. Hany