Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2008

SEBUAH PESAN DARI RENDRA

Di saat kesusastraan kita semakin jauh dari rakyat, ada baiknya kita renungkan pidato kebudayaan dari budayawan sejati, WS Rendra. Pidato Rendra dirasa penting ketika sastra semakin mengawang-awang dan memertontonkan aroma kemunafikan borjuis! Pidato Kebudayaan WS Rendra Kebudayaan Diporak-porandakan Kekuasaan yang Tersentral Kompas/arbain rambey Jakarta, Kompas Negara Republik Indonesia memang negara merdeka, tetapi rakyatnya belum merdeka. Sebab rakyat yang tanpa hak hukum, bukanlah rakyat yang berdaulat. Setelah bebas dari penjajahan asing, kedaulatan mereka justru dijajah oleh pemerintahan yang sentralistis dan otoriter. Kebudayaan diporak-porandakan oleh kekuasaan yang tersentral. Gerakan separatisme pun bermunculan sebagai bentuk ketidakpuasan. Karena itu otonomi yang diperluas harus segera dilaksanakan. "Tidak adil kalau orang daerah memberontak kepada negara karena negara tidak bersalah. Justru kita tidak boleh mengurangi kekuatan persatuan rakyat supaya kita bi

Puisi-puisi Nirwan Dewanto

Dalam rangka menyambut Jantung Lebah Ratu Nirwan Dewanto yang akan terbit akhir April ini, berikut ini Saya menghadirkan beberapa puisi dari sang maestro Nirwan Dewanto. Puisi-puisi ini memang sering muncul di media internet maupun blog, namun tak ada salahnya bila saya mencoba mereproduksi. Toh, tidak ada yang menyangsikan kapasitas seorang Nirwan. Selamat menikmati. Gong Tengah kami cerna hamparan abu yang meluas hingga ke Prabalingga ketika kau datang tiba-tiba. Menyuapkan sebilah anak kunci ke mulutku kau berkata, “Aku pandai membuka semua pintu. Jangan lagi lari dariku.” Waktu kaulepaskan gaunmu tahulah kami bahwa tubuhmu masih setengah-matang. Tapi aku tak lagi bisa tertawa sebab baru saja kami kuburkan sang panakawan di antara batang-batang pisang. Malam ini sungguh terlalu panjang. Maka menarilah, Adinda. Tak akan kami pulang sebab kami mahir bertepuk sebelah tangan. Menarilah. Inilah lingkaran yang akan kami berikan esok hari kepada ki lurah Baradah. Namun sekarang ambill

Andrea Hirata di DTC Toga Mas : Saya Kecewa!

Hari ini, Minggu, 20 April 2008, ada Andrea Hirata di DTC Toga Mas. Sebelumnya saya diberitahu oleh teman saya, Saudara Umar Fauzi. Ya, karena ini adalah seorang Andrea yang telah menulis novel best sller, Saya tertarik saja. Tapi, ketika sampai di sana, apa mau dikata? ternyata yang ada hanya acara jumpa fans saja. semula saya memang membayangkan kalau akan ada sesi diskusi. walau mungkin tidak akan semaksimal jika di forum diskusi yang sesungguhnya. Yang terjadi adalah penonton berdesakkan minta foto dan tanda tangan. termasuk juga saudara Umar Fauzi. di satu sisi, saya berpikir mungkin taraf kehidupan pengarang di Indonesia sudah membaik. minimal sudah mendekati selebritis. Pun ketika dibuat acara semacam penghargaan Pena Kencana, diharapkan taraf hidup pengarang sudah membaik. dan sastra pun mendekat pada masyarakat. Di sisi lain, ada kegagapan ketika pengarang akhirnya menjadi selebritis. Bahwa yang terjual nantinya hanya brand, merk nama pengarang. Bukankah ironi, bahwa tujuan sa

Saya Menanti Jantung Lebah Ratu

Saya menanti kumpulan puisi Nirwan Dewanto, Jantung Lebah Ratu. Setidaknya kumpulan tersebut dihasilkan oleh seorang maestro sastra Indonesia. Dalam artian, Nirwan dikenal sebagai seorang pengelana sastra Indonesia. Begini, puisi-puisi Nirwan sebagian besar merupakan hasil pengelanaan fisikal maupun psikisnya ke berbagai tempat. sembari mencoba mengorek lagi khasanah dari sastra Indonesia yang terlupakan. dari Amir Hamzah semisal. Pada puisi modern Indonesia, hampir saya tak pernah menjumpai diksi Zahrah dan Zuhra (Kunang-kunang). begitu juga pengelanaan Nirwan terhadap kasanah sastra dunia. Ia yang mencoba memperkenalkan pernik sastra dunia pada awal karir kepenyairannya, bisalah berbangga hati karena pengucapan puisinya telah sampai pada taraf mapan. saya jadi ingat dengan judul Batu Itu Berbaju Hijau. sefenomenal Abad yang berlari-nya Afrizal. tentu tak dapat dilepas dari konteks kesejarahan puisi Indonesia ketika itu, yakni saat pengaruh macam surealisme, realisme magis sedang dala

Dari Manuskrip Kumpulan Puisi Kepompong Penyair

selamat datang pada blog saya yang kelam dan gelap ini. Sesungguhnya sudah beberapa tahun lalu Saya ingin membuat kumpulan puisi. Namun, karena terhalang pelbagai kesibukan, maka kumpulan puisi tunggal Saya lebih banyak tertunda. Kumpulan Puisi Kepompong Penyair sendiri merupakan kumpulan puisi Saya yang telah tersebar di pelbagai situs sastra, semacam puitika.net, Tandabaca.com, maupun dari beberapa blog teman-teman, semisal blog Yohanes Sugianto ataupun Blog Pawon Sastra Solo. Insyaallah akan kelar pada akhir tahun nanti. Berikut beberapa puisi yang akan Saya tampilkan pada Manuskrip Kepompong Penyair. Lagu Musim seperti lagu musimmusim tua, gerakmu adalah bau sunyi yang tak habis kupahami. dengan menikam mata lenganku pasrah memanjat bunyibunyi sangit kesakitan. betapa tubuhmu melabuh dan dari pagar, kucakar semua ingatan dalam lehermu aku seperti pemuda dengan kalungan darah, lukisan terjal tentang igal hantu masa silam, membentuk gaunmu terbelah di girang jauh. sungguh, aku rinduk

Sastra Multikultural? Bagaimanakah?

-Oleh Eva Dwi Kurniawan Kini, wacana yang paling santer dalam berbagai diskusi dan kajian ialah adanya konsep 'multikultural'. Konsep ini telah merambah ke dalam bidang keilmuan. Konon, konsep ini hadir di Amerika akibat kondisi di negara tersebut yang memang, sangat pluralis. Dan melalui pendidikanlah konsep ini akhirnya diterapkan di negeri Paman Sam tersebut. Sangat sederhana memang konsep yang ditawarkan, namun tidak juga mudah untuk diterapkan. Yakni, pendidikan dilakukan dengan melihat latar belakang peserta didik. Contoh konkret misalnya jika dalam konteks Indonesia, seorang guru tidak dapat dikatakan profesional jika memberikan contoh suatu hal kepada peserta didiknya yang berlatar belakang daerah pesisir dengan contoh-contoh kata yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat kota; PS, KFC, McDonal, misalnya. Hal ini bukan dimaksudkan sebagai sikap superior anak-anak kota, namun lebih ditekankan kepada pemahaman yang lebih dekat dengan warna lokal.Hal inilah yang sebena

Puisi Dody Sayembara

Arwah Merah 1/ segala waktu memerah atas jasadku. ledakan yang membiru. jalanan cemburu menyekap jejakku segenap api kota meniadakan angin, tiupan pohon sesat membuat sebuah lingkaran bagi kemenawanan tahun lantas doadoa melesat, menuju keraguraguan yang nyata sepanjang retakan bulan. maka arwah akan berjalan menengadahkan kabut kepasrahan. sebuah penjara, bagi kegemingan malam tertawan. lalu segala bagai jiwa berliukan, menghantui pelabuhan maupun teriakan terpendam dalam kepedihan 2/ melalui namanama mengambang, aku berdiam sepanjang jalan rambutmu yang muram serta ratusan kabut gagal menghitam pisau kekeringan berlalu menangkap keliaran burung yang mengayun, menjala segenap resah atas tanah maka bungabunga beralih rekah. melalui namanama mengambang, pelayaran begitu jauh seperti penembakan kanak yang rabun menanggung derita lalu cahaya beranjak asing, begitu teduh meletakkan ratusan kepala tertanam di sekujur dinding gantungan serupa mimpi telanjang tentang kematian 2008